Jumat, 10 November 2017

MENGAPA SEKOLAH KAMI TIDAK MENGAJARKAN APAPUN PADA MURID KAMI SEBELUM AKHLAK DAN ETIKANYA BAIK
Mahatma Gandhi pernah berkata “Aku hanya melihat sifat baik di dalam diri sesama manusia. Sebab, aku sendiri tidak sepenuhnya terbebas dari keburukan. Aku tidak membedah orang lain untuk menemukan keburukan mereka”.
Albert Einstein juga pernah berkata “Rendah hati atau humble berasal dari bahasa latin humus yang artinya adalah tanah subur. Orang yang rendah hati pasti dekat dengan tanah yang subur.
Oleh karena itu, orang tersebut bisa mengalami hidup yang mempunyai hubungan erat dengan segala kehidupan”.
Saya secara jujur turut prihatin dengan aksi dan reaksi individu maupun kelompok yang cenderung berpikir dan bertindak jauh dari poin pernyataan yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi dan Albert Einstein di atas.
Saya berbicara khusus terkait dengan beberapa perkembangan terakhir realita yang terjadi di Negara kita tercinta, Indonesia.
Para pihak tertentu yang menyatakan ‘intelektual-nya tinggi’ maupun yang menyatakan ‘ilmu agama-nya tinggi’, bahkan menyatakan ‘senior itu tetap lebih tinggi’, dan lain-lainnya seakan sibuk mencari keburukan dan kesalahan pihak lain dan memandang benar dirinya.
Realita lebih lanjut yaitu kasus seorang pelajar yang meninggal karena dianiaya para seniornya di sebuah perguruan tinggi kedinasan di bawah naungan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Mungkin masih banyak realita lainnya, tapi perspektif saya sebagai seorang awam adalah mereka seakan tidak menyadari terlebih dulu, bahwa harta kekayaan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa bukanlah hanya keburukan namun juga kebaikan.
Oleh sebab itu jika hanya keburukan yang menjadi point utama dalam sebuah pemikiran maka godaan untuk terus meremehkan dan merendahkan akan menjadi manunggal tanpa bisa memuliakan sisi kebaikan sebagai dasar kita dapat memaknai dan mensyukuri kehidupan beserta isinya.
Jika kita hanya berpikir tanpa dilandasi sikap rendah hati maka pemikiran kita akan membuat kita menjadi sombong, angkuh, dan cenderung selalu meremehkan dan menyalahkan orang lain, tanpa ada rasa untuk dapat menerima masukan dan pemikiran orang lain.
Kembali saya mengutip pernyataan Albert Einsterin “Siapa pun yang menjadikan diri sendiri sebagai hakim kebenaran dan pengetahuan, maka ia akan ditertawakan oleh para dewa”.
Dan kembali saya mengutip pernyataan dari Mahatma Gandhi “Apabila kamu mempunyai kebenaran, hal itu harus ditambah dengan cinta. Sebab, jika tidak maka sebuah pesan dan pembawanya akan ditolak. Cinta tidak pernah meminta, sebaliknya dia senantiasa memberi.
Cinta memang terkadang membawa penderitaan, tetapi tidak pernah mendendam atau membalas dendam.
Dimana ada cinta maka di situ ada kehidupan. Namun dimana ada kebencian, maka di situ ada kehancuran”.
Tidak menyadari kekurangan diri sendiri dan buta terhadap kelebihan yang dimiliki orang lain dalam menghakimi orang atau pihak lain maka jiwa dan raga pihak yang bersangkutan hanyalah berisikan kesombongan.
Dalam setiap upaya ‘pihak-pihak tertentu’ yang mengatasnamakan diri mereka penegak kebenaran, atau yang paling benar, namun dalam setiap upayanya melupakan cinta dan mengabaikan cara-cara yang penuh kelembutan, maka tidak akan mungkin orang lain bisa melihat kebenaran.
Semoga semua Warga Negara Indonesia tidak hanya berorientasi pada KECERDASAN semata namun dapat mengkombinasikannya dengan KEBIJAKSANAAN sebagai teladan untuk para GENERASI PENERUS INDONESIA di masa depan.
Cerdas itu butuh bijaksana..
HIDUP INDONESIA !!!
With Love,
Dewa Radhea
Kepala Sekolah Maha Karya Gangga
Singaraja, Buleleng, Bali

Sumber Pustaka:
Buku J. Ferdinand Setia Budi “Berpikir ala Einstein dan Bertindak Ala Gandhi” (2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*3 Filter Sebuah Informasi* Di Yunani kuno, Socrates terkenal memiliki pengetahuan yang tinggi dan sangat terhormat. Suatu hari seora...